Hoamm.., sudah lama tidak ngeblog bingung mau nulis apa, maklum beberapa bulan ini disibukkan dengan pekerjaan ke luar kota dan urusan skripsi duk. Karena saat ini trending topicnya pemilu maka saya akan coba posting Pemilu 2014 yaitu suatu pesta demokarasi di Indonesia yang menelan kucuran dana milyaran rupiah ini, yang acara ritual ini dilakukan setiap 5thn sekali. Pesta Demokrasi Rakyat 2014 Telah berlangsung 9 April 2014 lalu, dimana tahun 2014 ini merupakan tahun politik, dan bentuk partisipasi kami sebagai anak bangsa dalam berpolitik, kami akan memcoba bahas tentang pemilu Legislatif 2014. Dengan demikian kita sebagai warna negara yang baik telah memberikan sedikit banyak kontribusi kepada NKRI duk :D , walaupun negara saat ini belum bisa memberikan kontribusi kesejahteraan hidup yang diharapkan oleh seluruh masyarakat indonesia dari sabang sampai merauke, karena sesungguhnya tanyakan pada diri kita sendiri duk "JANGAN TANYA KONTRIBUSI APA YANG TELAH DIBERIKAN NEGARA KEPADA KITA duk, TETAPI TANYA KONTRIBUSI APA YANG TELAH KITA BERIKAN PADA BANGSA DAN NEGARA INDONESIA YANG TERCINTA INI???". Pemilu 2014 akan dilaksanakan dua kali yaitu Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2014 yang akan memilih para anggota dewan legislatif dan Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Pemilu 2014 akan memakai e-voting dengan harapan menerapkan sebuah
sistem baru dalam pemilihan umum. Keutamaan dari penggunaan sistem
e-voting adalah Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang sudah mulai
dipersiapkan sejak tahun 2012 secara nasional. Dan hasil sementara pemilu 9 april 2014 beberapa waktu lalu terjadi fragmentasi politik dan kejutan - kejutan dari dan buat para pelaku - pelaku politik. Hasil sementara dapat dilihat data statistik dibawah ini :Hasil Sementara Pemilu Legislatif 9 April 2014 (Quick Count)
NAMA PARTAI PERSENTASE SUARA
1. Partai Nasdem 6.39%
2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 9.05%
3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 6.61%
4. PDI Perjuangan (PDIP) 19.71%
5. Partai Golkar 14.6%
6. Partai Gerindra 11.88%
7. Partai Demokrat 9.71%
8. Partai Amanat Nasional (PAN) 7.54%
9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 7.02%
10. Partai Hanura 5.23%
11. Partai Bulan Bintang 1.38%
12. PKP Indonesia (PKPI) 0.98%
TOTAL DATA MASUK: 97%
1. Partai Nasdem 6.39%
2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 9.05%
3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 6.61%
4. PDI Perjuangan (PDIP) 19.71%
5. Partai Golkar 14.6%
6. Partai Gerindra 11.88%
7. Partai Demokrat 9.71%
8. Partai Amanat Nasional (PAN) 7.54%
9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 7.02%
10. Partai Hanura 5.23%
11. Partai Bulan Bintang 1.38%
12. PKP Indonesia (PKPI) 0.98%
TOTAL DATA MASUK: 97%
Dari hasil sementara pemilu 2014 diatas maka kita akan coba sedikit mencari data dan fakta history tentang beberapa Profile Parpol yang mungkin dapat menambah wawasan dan inspirasi kita semua dalam kancah dunia politik duk.
1. PDIP, Momentum Mengembalikan Kejayaan
Kelahiran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) tidak
bisa dilepaskan dari peristiwa 27 Juli 1996. Ketika itu, kantor PDI yang
disesaki massa simpatisan Ketua Umum terpilih, Megawati Soekarnoputri,
diserang massa pendukung Soerjadi, Ketua Umum versi Kongres Medan.
Peristiwa yang kemudian disebut “Sabtu Kelabu” itu tak membuat dukungan terhadap Megawati kendor. Justru semakin kokoh. Lalu pendukung Megawati menggelar Kongres di Bali pada 20 Oktober 1998 guna mengukuhkan kepemimpinan anak Bung Karno tersebut. Kongres Bali juga sepakat menambah kata "Perjuangan" di belakang kata PDI untuk membedakan dengan PDI “aliran” Soerjadi yang direstui Orde Baru.
Ketika keran kebebasan berpolitik dibuka lebar-lebar pada Era Reformasi, PDI Perjuangan mendaftarkan diri menjadi salah satu kontestan Pemilu 1999. Hasilnya cukup mencengangkan, PDI Perjuangan berhasil meruntuhkan dominasi Partai Golkar dengan meraih 35.689.073 suara (33,74%).
Meski menempatkan 151 wakilnya di Parlemen, PDI Perjuangan gagal menjadikan Megawati sebagai Presiden. Partai berideologi Marhaenisme itu kalah pada pemungutan dalam Sidang Umum MPR 20 Oktober 1999. Abdurrahman Wahid yang dijagokan “Poros Tengah” lebih unggul. Tapi, Mega berhasil merebut posisi Wakil Presiden usai menang bertarung melawan Hamzah Haz sehari kemudian.
Hampir dua tahun Megawati menduduki posisi itu. Hingga 23 Juli 2001, MPR RI menggelar Sidang Istimewa untuk melengserkan Abdurrahman Wahid dari jabatan presiden. Posisi Kepala Negara yang kosong itu, secara otomatis mengantarkan Megawati sebagai presiden menggantikan Gus Dur, sapaan Abdurrahman Wahid.
Pada Pemilu Legislatif 2004, perolehan suara PDI Perjuangan menurun drastis. Partai berlambang banteng bermoncong putih itu berada di posisi kedua dengan raihan 109 kursi di Senayan. Megawati yang dipasangkan dengan Hasyim Muzadi pun kalah pada Pemilu Presiden 2004.
Dukungan terhadap PDI Perjuangan terus menurun. Pada Pemilu Legislatif 2009, partai yang bermarkas di Lenteng Agung ini hanya mampu meraih 95 kursi di parlemen alias menjadi pemenang ketiga. Lagi-lagi, Megawati gagal diusung jadi Presiden.
Kini, menghadapi Pemilu 2014, partai dengan nomor urut 4 itu optimis. Terutama didorong oleh melejitnya kader-kader muda seperti Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), serta Tri Rismaharini, debutan baru yang kini menjabat Wali Kota Surabaya.
Mereka berpotensi mengangkat pamor partai di mata publik. Slogan “Indonesia Hebat” yang terpampang di berbagai baliho kampanye, juga diharapkan bisa merebut simpati masyarakat terhadap PDI Perjuangan.
Inilah momentum terbaik PDI Perjuangan di saat pamor partai penguasa, Partai Demokrat, merosot tajam. Namun, jejak korupsi yang melibatkan para kader di Parlemen membuat langkah PDI Perjuangan bisa jadi tak mulus.
Beberapa fungsionaris seperti Panda Nababan, Agus Condro Prayitno, Max Moein, dan Enggelina Patisiana, divonis terlibat dalam kasus korupsi pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Gultom. Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan, Emir Moeis, pun bernasib sama. Mantan Ketua XI itu ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena menjadi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Tarahan, Lampung.
Dengan rekam jejak sebagai partai oposisi yang secara konsisten dijalani, apakah para kader mampu mengembalikan marwah partai sembari meraih dukungan maksimal dari masyarakat? Kita tunggu tanggal mainnya.
Peristiwa yang kemudian disebut “Sabtu Kelabu” itu tak membuat dukungan terhadap Megawati kendor. Justru semakin kokoh. Lalu pendukung Megawati menggelar Kongres di Bali pada 20 Oktober 1998 guna mengukuhkan kepemimpinan anak Bung Karno tersebut. Kongres Bali juga sepakat menambah kata "Perjuangan" di belakang kata PDI untuk membedakan dengan PDI “aliran” Soerjadi yang direstui Orde Baru.
Ketika keran kebebasan berpolitik dibuka lebar-lebar pada Era Reformasi, PDI Perjuangan mendaftarkan diri menjadi salah satu kontestan Pemilu 1999. Hasilnya cukup mencengangkan, PDI Perjuangan berhasil meruntuhkan dominasi Partai Golkar dengan meraih 35.689.073 suara (33,74%).
Meski menempatkan 151 wakilnya di Parlemen, PDI Perjuangan gagal menjadikan Megawati sebagai Presiden. Partai berideologi Marhaenisme itu kalah pada pemungutan dalam Sidang Umum MPR 20 Oktober 1999. Abdurrahman Wahid yang dijagokan “Poros Tengah” lebih unggul. Tapi, Mega berhasil merebut posisi Wakil Presiden usai menang bertarung melawan Hamzah Haz sehari kemudian.
Hampir dua tahun Megawati menduduki posisi itu. Hingga 23 Juli 2001, MPR RI menggelar Sidang Istimewa untuk melengserkan Abdurrahman Wahid dari jabatan presiden. Posisi Kepala Negara yang kosong itu, secara otomatis mengantarkan Megawati sebagai presiden menggantikan Gus Dur, sapaan Abdurrahman Wahid.
Pada Pemilu Legislatif 2004, perolehan suara PDI Perjuangan menurun drastis. Partai berlambang banteng bermoncong putih itu berada di posisi kedua dengan raihan 109 kursi di Senayan. Megawati yang dipasangkan dengan Hasyim Muzadi pun kalah pada Pemilu Presiden 2004.
Dukungan terhadap PDI Perjuangan terus menurun. Pada Pemilu Legislatif 2009, partai yang bermarkas di Lenteng Agung ini hanya mampu meraih 95 kursi di parlemen alias menjadi pemenang ketiga. Lagi-lagi, Megawati gagal diusung jadi Presiden.
Kini, menghadapi Pemilu 2014, partai dengan nomor urut 4 itu optimis. Terutama didorong oleh melejitnya kader-kader muda seperti Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), serta Tri Rismaharini, debutan baru yang kini menjabat Wali Kota Surabaya.
Mereka berpotensi mengangkat pamor partai di mata publik. Slogan “Indonesia Hebat” yang terpampang di berbagai baliho kampanye, juga diharapkan bisa merebut simpati masyarakat terhadap PDI Perjuangan.
Inilah momentum terbaik PDI Perjuangan di saat pamor partai penguasa, Partai Demokrat, merosot tajam. Namun, jejak korupsi yang melibatkan para kader di Parlemen membuat langkah PDI Perjuangan bisa jadi tak mulus.
Beberapa fungsionaris seperti Panda Nababan, Agus Condro Prayitno, Max Moein, dan Enggelina Patisiana, divonis terlibat dalam kasus korupsi pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Gultom. Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan, Emir Moeis, pun bernasib sama. Mantan Ketua XI itu ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena menjadi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Tarahan, Lampung.
Dengan rekam jejak sebagai partai oposisi yang secara konsisten dijalani, apakah para kader mampu mengembalikan marwah partai sembari meraih dukungan maksimal dari masyarakat? Kita tunggu tanggal mainnya.
2. Golkar, Jungkir-Balik di Pentas Politik
Partai Golkar termasuk yang percaya diri mencalonkan Ketua Umum Aburizal
Bakrie sebagai kandidat Presiden 2014. Partai berlambang beringin ini
sudah dua kali mengajukan kandidat presiden, namun selalu kandas.
Pada 2004 misalnya, Wiranto yang memenangkan Konvensi Partai Golkar, maju sebagai calon presiden berpasangan dengan Salahuddin Wahid. Gagal.
Pada pemilihan umum lima tahun berikutnya, Golkar mencalonkan Jusuf Kalla. Posisi Wiranto yang sudah mendirikan Partai Hanura turun, menjadi calon wakil presiden. Lagi-lagi, kandas. Kali ini giliran Aburizal Bakrie yang diusung.
Golkar memiliki sejarah panjang sebagai penguasa. Partai ini didirikan sebagai kelanjutan dari Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang didirikan pada 20 Oktober 1964. Militer, terutama Angkatan Darat, memiliki peran sentral dalam pembentukannya. Akademisi, kaum muda, petani, buruh, dan nelayan dihimpun ke dalam wadah fungsional ini.
Enam tahun pascapendiriannya, Golkar resmi menjadi salah satu peserta Pemilu 1971 dan Golkar menjadi partai politik. Hasilnya membuat para petinggi Golkar sumringah. Partai berlambang pohon beringin itu menuai sukses besar, berhasil meraup 34.348.673 (62,79 persen).
Keberhasilan Golkar semakin memperkuat kekuasaan Orde Baru. Selama berkuasa, jabatan-jabatan strategis dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, dikuasai oleh para kader. Mereka meraihnya lewat jalur ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) yang telah disiapkan secara informal.
Lewat jaringan konstituen itu, Golkar berhasil menguasai perhelatan pemilu selanjutnya. Kemenangan selalu ditorehkan pada Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Tahun 1998, Gerakan Reformasi bergulir. Presiden Soeharto yang kala itu menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, terpaksa turun dari kursi presiden yang sudah diduduki selama 32 tahun. Golkar pun terkena imbasnya. Tuntutan agar partai itu dibubarkan menggema di seantero Nusantara.
Reformasi berhasil meruntuhkan dominasi Partai Golkar. Pada Pemilu 1999, Golkar hanya berhasil menempati posisi kedua dengan perolehan suara 23.741.749 (22,4 persen alias 120 kursi). Meski tak lagi memperoleh jabatan presiden, namun "Partai Beringin" mampu menempatkan Ketua Umum Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR RI.
Basis pendukung partai pun tercerai-berai. ABRI, birokrasi, dan masyarakat sipil di luar keduanya, tak lagi secara bulat mendukung. Tuntutan mengembalikan tentara ke barak dan netralitas birokrasi dalam politik, ikut memperkuat hajat tersebut.
Namun, lima tahun berselang, Partai Golkar kembali mendominasi peta politik nasional. Partai yang bermarkas di Slipi, Jakarta Barat, itu meraih 24.480.757 suara (21,58 persen atau 128 kursi). Golkar juga kembali menempatkan kadernya, Agung Laksono sebagai Ketua DPR RI.
Meski sentimen negatif menyelimuti Golkar, tapi tak membuat perolehan suara partai merosot tajam. Pada Pemilu 2009, malah tampil sebagai runner up dengan raihan suara 15.037.757 suara (14,45 persen). Raihan 107 kursi di parlemen membuat posisinya layak diperhitungkan. Partai yang kini diketuai Aburizal Bakrie itu pun memimpin Sekretariat Gabungan dan menempatkan tiga kadernya di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II pimpinan SBY-Boediono.
Tidak hanya prestasi, sejumlah kasus korupsi juga menjerat kader Golkar menjelang pemilu. Paling anyar, menimpa Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan DPP Partai Golkar yang juga Gubernur Provinsi Banten, Ratu Atut Chosiyah. Gubernur perempuan pertama di Indonesia itu ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi.
Senasib dengan Atut, Ketua Bidang Seni Budaya dan Pariwisata DPP Partai Golkar, Chairunnisa juga mendekam di tahanan KPK. Begitu pun dengan mantan Gubernur Riau sekaligus Ketua Bidang Hubungan Eksekutif dan Yudikatif DPP Partai Golkar, H.M. Rusli Zainal, yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Meski didera kasus korupsi, Partai Golkar optimis meraih hasil baik pada Pemilu 2014 nanti. Jargon "Suara Golkar Suara Rakyat" yang diusung partai bernomor urut 5 itu, diharapkan bisa mengangkat perolehan suara nasional .
Pada 2004 misalnya, Wiranto yang memenangkan Konvensi Partai Golkar, maju sebagai calon presiden berpasangan dengan Salahuddin Wahid. Gagal.
Pada pemilihan umum lima tahun berikutnya, Golkar mencalonkan Jusuf Kalla. Posisi Wiranto yang sudah mendirikan Partai Hanura turun, menjadi calon wakil presiden. Lagi-lagi, kandas. Kali ini giliran Aburizal Bakrie yang diusung.
Golkar memiliki sejarah panjang sebagai penguasa. Partai ini didirikan sebagai kelanjutan dari Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang didirikan pada 20 Oktober 1964. Militer, terutama Angkatan Darat, memiliki peran sentral dalam pembentukannya. Akademisi, kaum muda, petani, buruh, dan nelayan dihimpun ke dalam wadah fungsional ini.
Enam tahun pascapendiriannya, Golkar resmi menjadi salah satu peserta Pemilu 1971 dan Golkar menjadi partai politik. Hasilnya membuat para petinggi Golkar sumringah. Partai berlambang pohon beringin itu menuai sukses besar, berhasil meraup 34.348.673 (62,79 persen).
Keberhasilan Golkar semakin memperkuat kekuasaan Orde Baru. Selama berkuasa, jabatan-jabatan strategis dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, dikuasai oleh para kader. Mereka meraihnya lewat jalur ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) yang telah disiapkan secara informal.
Lewat jaringan konstituen itu, Golkar berhasil menguasai perhelatan pemilu selanjutnya. Kemenangan selalu ditorehkan pada Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Tahun 1998, Gerakan Reformasi bergulir. Presiden Soeharto yang kala itu menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, terpaksa turun dari kursi presiden yang sudah diduduki selama 32 tahun. Golkar pun terkena imbasnya. Tuntutan agar partai itu dibubarkan menggema di seantero Nusantara.
Reformasi berhasil meruntuhkan dominasi Partai Golkar. Pada Pemilu 1999, Golkar hanya berhasil menempati posisi kedua dengan perolehan suara 23.741.749 (22,4 persen alias 120 kursi). Meski tak lagi memperoleh jabatan presiden, namun "Partai Beringin" mampu menempatkan Ketua Umum Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR RI.
Basis pendukung partai pun tercerai-berai. ABRI, birokrasi, dan masyarakat sipil di luar keduanya, tak lagi secara bulat mendukung. Tuntutan mengembalikan tentara ke barak dan netralitas birokrasi dalam politik, ikut memperkuat hajat tersebut.
Namun, lima tahun berselang, Partai Golkar kembali mendominasi peta politik nasional. Partai yang bermarkas di Slipi, Jakarta Barat, itu meraih 24.480.757 suara (21,58 persen atau 128 kursi). Golkar juga kembali menempatkan kadernya, Agung Laksono sebagai Ketua DPR RI.
Meski sentimen negatif menyelimuti Golkar, tapi tak membuat perolehan suara partai merosot tajam. Pada Pemilu 2009, malah tampil sebagai runner up dengan raihan suara 15.037.757 suara (14,45 persen). Raihan 107 kursi di parlemen membuat posisinya layak diperhitungkan. Partai yang kini diketuai Aburizal Bakrie itu pun memimpin Sekretariat Gabungan dan menempatkan tiga kadernya di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II pimpinan SBY-Boediono.
Tidak hanya prestasi, sejumlah kasus korupsi juga menjerat kader Golkar menjelang pemilu. Paling anyar, menimpa Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan DPP Partai Golkar yang juga Gubernur Provinsi Banten, Ratu Atut Chosiyah. Gubernur perempuan pertama di Indonesia itu ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi.
Senasib dengan Atut, Ketua Bidang Seni Budaya dan Pariwisata DPP Partai Golkar, Chairunnisa juga mendekam di tahanan KPK. Begitu pun dengan mantan Gubernur Riau sekaligus Ketua Bidang Hubungan Eksekutif dan Yudikatif DPP Partai Golkar, H.M. Rusli Zainal, yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Meski didera kasus korupsi, Partai Golkar optimis meraih hasil baik pada Pemilu 2014 nanti. Jargon "Suara Golkar Suara Rakyat" yang diusung partai bernomor urut 5 itu, diharapkan bisa mengangkat perolehan suara nasional .
3. Gerindra, Pilihan Hashim dan Gagasan Prabowo
Kamis, 6 Februari 2008 merupakan hari bersejarah dalam perjalanan Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Bertempat di TPA Bantar Gebang,
Bekasi, partai yang diketuai oleh Suhardi itu, dideklarasikan.
Gagasan pendirian Partai Gerindra diwacanakan di lingkaran kakak-beradik Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo. Mantan aktivis mahasiswa Fadli Zon dan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Bidang Penggalangan Muchdi Prawiro Pranjono juga terlibat saat itu. Nama Gerindra merupakan pilihan Hashim, sedangkan lambang kepala burung garuda gagasan Prabowo Subianto.
Debut Gerindra pada Pemilu 2009 cukup memuaskan. Partai tersebut meraih 4.646.406 suara (4,46 persen) dan menempatkan 26 wakilnya di DPR RI. Dengan komposisi itu, bersama PDI Perjuangan dan Hanura, Gerindra kerap kali menjadi penyeimbang suara partai-partai yang lain yang tergabung ke dalam Sekretariat Gabungan.
Tak berhenti di situ, partai berasas Pancasila ini juga tampil konsisten sebagai pengkritik pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat. Kebijakan impor pangan, menurut Prabowo, merendahkan martabat bangsa sebagai bangsa agraris dan tak memiliki daya saing terhadap bangsa lain.
Menghadapi Pemilu 2014, Gerindra optimis mendapat dukungan melimpah dari petani, pegawai, dan pedagang pasar. Dengan posisi Prabowo sebagai Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia (APSI) dan Ketua Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), partai yang mengaku ingin mengangkat rakyat dari jerat kemelaratan ini memiliki tambahan modal sosial.
Dalam berbagai kesempatan, Gerindra sudah mengajak masyarakat Indonesia untuk peduli dan memanfaatkan produk dalam negeri. Partai bernomor urut 6 ini juga kerap menampilkan Prabowo sebagai sosok tegas, berani, dan peduli terhadap kesejahteraan rakyat. Dari kampanye itu, Gerindra berharap mendapat dukungan dari pemilih pemula.
Namun, jalan Gerindra tak selalu mulus. Upaya pencitraan partai terganggu dengan beredarnya uang kertas dari pecahan 5.000 hingga 100.000 bercap Prabowo pada akhir Januari 2014 silam. Stempel bertuliskan "Prabowo: Satria Piningit, Heru Cakra Ratu Adil" pada uang kertas itu diduga menjadi materi kampanye pencalonan mantan Komandan Jenderal Kopassus tersebut sebagai presiden.
Koordinator Prabowo Media Center Budi Purnomo Karjodihardjo menyampaikan keprihatinannya atas kasus tersebut. Ia justru menduga adanya kampanye hitam (black campaign) terhadap Gerindra dan Prabowo Subianto.
Heboh rencana proyek pembangunan ruang Badan Anggaran senilai Rp20 miliar juga sempat hinggap di partai ini. Agar citra partai tak keruh, DPP Partai Gerindra segera mencopot Pius Lustrilanang dari posisinya sebagai Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga RI, yang diramaikan tersangkut proyek itu.
Kemenangan pasangan Jokowi-Basuki sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusung Gerindra diharapkan berdampak baik pada partai. Gerindra ingin kinerja Ahok – tokoh yang mereka usung sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta - bisa menaikkan citra partai dan meningkatkan perolehan suara.
Nah, kini bolanya ada di tangan pemilih. Bagaimana Anda menilai partai besutan Prabowo Subianto ini?
Gagasan pendirian Partai Gerindra diwacanakan di lingkaran kakak-beradik Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo. Mantan aktivis mahasiswa Fadli Zon dan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Bidang Penggalangan Muchdi Prawiro Pranjono juga terlibat saat itu. Nama Gerindra merupakan pilihan Hashim, sedangkan lambang kepala burung garuda gagasan Prabowo Subianto.
Debut Gerindra pada Pemilu 2009 cukup memuaskan. Partai tersebut meraih 4.646.406 suara (4,46 persen) dan menempatkan 26 wakilnya di DPR RI. Dengan komposisi itu, bersama PDI Perjuangan dan Hanura, Gerindra kerap kali menjadi penyeimbang suara partai-partai yang lain yang tergabung ke dalam Sekretariat Gabungan.
Tak berhenti di situ, partai berasas Pancasila ini juga tampil konsisten sebagai pengkritik pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat. Kebijakan impor pangan, menurut Prabowo, merendahkan martabat bangsa sebagai bangsa agraris dan tak memiliki daya saing terhadap bangsa lain.
Menghadapi Pemilu 2014, Gerindra optimis mendapat dukungan melimpah dari petani, pegawai, dan pedagang pasar. Dengan posisi Prabowo sebagai Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia (APSI) dan Ketua Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), partai yang mengaku ingin mengangkat rakyat dari jerat kemelaratan ini memiliki tambahan modal sosial.
Dalam berbagai kesempatan, Gerindra sudah mengajak masyarakat Indonesia untuk peduli dan memanfaatkan produk dalam negeri. Partai bernomor urut 6 ini juga kerap menampilkan Prabowo sebagai sosok tegas, berani, dan peduli terhadap kesejahteraan rakyat. Dari kampanye itu, Gerindra berharap mendapat dukungan dari pemilih pemula.
Namun, jalan Gerindra tak selalu mulus. Upaya pencitraan partai terganggu dengan beredarnya uang kertas dari pecahan 5.000 hingga 100.000 bercap Prabowo pada akhir Januari 2014 silam. Stempel bertuliskan "Prabowo: Satria Piningit, Heru Cakra Ratu Adil" pada uang kertas itu diduga menjadi materi kampanye pencalonan mantan Komandan Jenderal Kopassus tersebut sebagai presiden.
Koordinator Prabowo Media Center Budi Purnomo Karjodihardjo menyampaikan keprihatinannya atas kasus tersebut. Ia justru menduga adanya kampanye hitam (black campaign) terhadap Gerindra dan Prabowo Subianto.
Heboh rencana proyek pembangunan ruang Badan Anggaran senilai Rp20 miliar juga sempat hinggap di partai ini. Agar citra partai tak keruh, DPP Partai Gerindra segera mencopot Pius Lustrilanang dari posisinya sebagai Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga RI, yang diramaikan tersangkut proyek itu.
Kemenangan pasangan Jokowi-Basuki sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusung Gerindra diharapkan berdampak baik pada partai. Gerindra ingin kinerja Ahok – tokoh yang mereka usung sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta - bisa menaikkan citra partai dan meningkatkan perolehan suara.
Nah, kini bolanya ada di tangan pemilih. Bagaimana Anda menilai partai besutan Prabowo Subianto ini?
4. Demokrat, Berawal dari Kekalahan SBY
Bermula dari kekalahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat bersaing
memperebutkan posisi wakil presiden dalam Sidang Istimewa MPR 2001, ide
kelahiran Partai Demokrat menguat ke permukaan. Gagasan pendirian partai
dimaksudkan untuk mengusung mantan Menteri Pertambangan dan Energi
(1999-2000) itu sebagai presiden.
Dimotori oleh Vence Rumangkang, urusan teknis administrasi partai diselesaikan. Rapat pendirian organisasi politik itu pun berlanjut dengan promosi pencalonan SBY sebagai presiden oleh Tim Krisna Bambu Apus. Tim ini dipimpin oleh Achmad Yani Wahid, yang saat itu juga menjabat Ketua Umum Partai Republik.
Pembahasan cikal bakal kendaraan politik SBY itu tak hanya berlangsung di apartemen, tapi juga di kantor Menko Polkam. Setelah persiapan usai, SBY sebagai yang empunya ruangan, tampil memimpin rapat pada 19 Agustus 2001. Tak lama berselang, tepatnya 9 September 2001, partai itu resmi didirikan.
Ajang Pemilu 2004 merupakan pengalaman pertama partai besutan SBY bersaing di kancah politik nasional. Pada pemilihan anggota Legislatif itu, Demokrat meraih suara sebanyak 8.455.225 (7,45 persen) dan menempatkan 57 wakilnya di DPR RI. Popularitas partai ini tak bisa dilepaskan dari faktor SBY yang namanya kian mengkilap. Apalagi setelah diberhentikan Presiden Megawati sebagai menteri, namanya semakin berkibar.
Demokrat yang mendapat angin, lantas menjagokan SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) dari Golkar sebagai calon presiden dan wakil presiden melawan mantan pimpinannya, Megawati. Dari dua putaran pemilihan presiden, pasangan SBY-JK tak tertandingi dan keluar sebagai pemenang.
Faktor SBY lagi-lagi menjadi penentu kemenangan partai pada Pemilu 2009. Secara mengejutkan, partai yang ketika itu dipimpin Hadi Utomo, melejit ke urutan pertama dengan meraih 21.703.137 suara (20,85 persen). Demokrat menempatkan 150 orang wakilnya di DPR RI.
Pasangan SBY-Boediono yang kembali diusung pada Pemilu Presiden 8 Juli 2009, berhasil mengungguli pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto.
Namun, skandal korupsi yang melibatkan sejumlah kader utama Partai Demokrat membuat para punggawanya kelimpungan. Demokrat terancam terdegradasi dari barisan partai papan atas lantaran skandal korupsi yang terus mengelayuti para petinggi, kader, dan orang-orang dekat Presiden SBY.
Mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan Wakil Sekretaris Jenderal Angelina Sondakh mendekam di penjara karena tersangkut kasus proyek wisma atlet di Palembang. Sementara mantan Ketua DPP Partai Demokrat Andi A. Mallarangeng bersama mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, diseret KPK sebagai tersangka kasus Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang.
Didera skandal korupsi, elektabilitas partai bernomor urut 7 itu merosot tajam. Hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan, tingkat elektabilitas Partai Demokrat tersisa 4,7 persen pada Januari 2004.
Beragam cara dilakukan untuk meningkatkan citra partai. Langkah SBY yang turun menjadi Ketua Umum Partai adalah salah satunya. Cara lainnya, dengan menggelar Konvensi Partai Demokrat guna menjaring calon presiden. Dengan cara itu, Demokrat berharap elektabilitasnya naik karena setiap peserta konvensi diharuskan menggalang dukungan dan menjadi anggota partai sekaligus.
Kini, setelah tak lagi bisa mengusung SBY sebagai presiden, mampukah para punggawa partai berideologi Pancasila, Konservatisme dan Anti-Komunisme itu, mengembalikan citranya yang terus terpuruk?
Dimotori oleh Vence Rumangkang, urusan teknis administrasi partai diselesaikan. Rapat pendirian organisasi politik itu pun berlanjut dengan promosi pencalonan SBY sebagai presiden oleh Tim Krisna Bambu Apus. Tim ini dipimpin oleh Achmad Yani Wahid, yang saat itu juga menjabat Ketua Umum Partai Republik.
Pembahasan cikal bakal kendaraan politik SBY itu tak hanya berlangsung di apartemen, tapi juga di kantor Menko Polkam. Setelah persiapan usai, SBY sebagai yang empunya ruangan, tampil memimpin rapat pada 19 Agustus 2001. Tak lama berselang, tepatnya 9 September 2001, partai itu resmi didirikan.
Ajang Pemilu 2004 merupakan pengalaman pertama partai besutan SBY bersaing di kancah politik nasional. Pada pemilihan anggota Legislatif itu, Demokrat meraih suara sebanyak 8.455.225 (7,45 persen) dan menempatkan 57 wakilnya di DPR RI. Popularitas partai ini tak bisa dilepaskan dari faktor SBY yang namanya kian mengkilap. Apalagi setelah diberhentikan Presiden Megawati sebagai menteri, namanya semakin berkibar.
Demokrat yang mendapat angin, lantas menjagokan SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) dari Golkar sebagai calon presiden dan wakil presiden melawan mantan pimpinannya, Megawati. Dari dua putaran pemilihan presiden, pasangan SBY-JK tak tertandingi dan keluar sebagai pemenang.
Faktor SBY lagi-lagi menjadi penentu kemenangan partai pada Pemilu 2009. Secara mengejutkan, partai yang ketika itu dipimpin Hadi Utomo, melejit ke urutan pertama dengan meraih 21.703.137 suara (20,85 persen). Demokrat menempatkan 150 orang wakilnya di DPR RI.
Pasangan SBY-Boediono yang kembali diusung pada Pemilu Presiden 8 Juli 2009, berhasil mengungguli pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto.
Namun, skandal korupsi yang melibatkan sejumlah kader utama Partai Demokrat membuat para punggawanya kelimpungan. Demokrat terancam terdegradasi dari barisan partai papan atas lantaran skandal korupsi yang terus mengelayuti para petinggi, kader, dan orang-orang dekat Presiden SBY.
Mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan Wakil Sekretaris Jenderal Angelina Sondakh mendekam di penjara karena tersangkut kasus proyek wisma atlet di Palembang. Sementara mantan Ketua DPP Partai Demokrat Andi A. Mallarangeng bersama mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, diseret KPK sebagai tersangka kasus Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang.
Didera skandal korupsi, elektabilitas partai bernomor urut 7 itu merosot tajam. Hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan, tingkat elektabilitas Partai Demokrat tersisa 4,7 persen pada Januari 2004.
Beragam cara dilakukan untuk meningkatkan citra partai. Langkah SBY yang turun menjadi Ketua Umum Partai adalah salah satunya. Cara lainnya, dengan menggelar Konvensi Partai Demokrat guna menjaring calon presiden. Dengan cara itu, Demokrat berharap elektabilitasnya naik karena setiap peserta konvensi diharuskan menggalang dukungan dan menjadi anggota partai sekaligus.
Kini, setelah tak lagi bisa mengusung SBY sebagai presiden, mampukah para punggawa partai berideologi Pancasila, Konservatisme dan Anti-Komunisme itu, mengembalikan citranya yang terus terpuruk?
5. PKB, Tiga Calon Presiden
Berawal dari istighosah kubro (doa bersama untuk meminta pertolongan)
yang digelar di Rembang, Jawa Timur, 30 Mei 1998. Para ulama Nahdlatul
Ulama mendesak tuan rumah KH. Cholil Bisri untuk mendirikan partai
sebagai wadah aspirasi politik warga NU.
Meski awalnya sempat menolak lantaran tak mau terlalu dalam berkecimpung dalam politik praktis, Kyai Cholil mengalah. Ia mengundang para sesepuh ke pesantrennya. Sejumlah persiapan dilakukan, mulai dari pembentukan Tim Panitia yang bertugas membuat draf hingga melobi politisi NU yang berada di Golkar, PDIP, dan PPP untuk bergabung.
Namun, Pengurus Besar Nadlatul Ulama (PBNU) sangat hati-hati menyikapi usulan tersebut. Alasannya, Muktamar NU ke-27 di Situbondo menetapkan, secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis.
Aspirasi umat yang sangat besar membuat PBNU turun tangan. Setelah menunjuk Tim Lima dan Tim Asistensi untuk menggodok usulan yang berkembang, pada 23 Juli 1998, bertempat di Ciganjur, lima ulama: Munasir Ali, Ilyas Ruchiyat, Abdurrahman Wahid, A. Mustofa Bisri, dan A. Muhith Muzadi ditunjuk sebagai deklarator berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa.
Tahun 1999 merupakan pengalaman pertama partai warga NU itu bertarung di politik praktis. Hasilnya cukup lumayan, PKB berada di urutan keempat. Pada pemilu yang digelar 7 Juni itu, partai pimpinan Matori Abdul Jalil tersebut meraih 51 kursi (11,03 persen) dari 462 kursi yang diperebutkan.
Pascaditolaknya Pidato Pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie dalam Sidang Istimewa MPR, politisi PKB bergerak melobi faksi Partai Golkar agar mendukung Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Lobi berhasil. Ulama yang disapa Gus Dur itu memenangkan voting pada Sidang Istimewa yang digelar 20 Oktober 1999. Sehari kemudian, Gus Dur dilantik menjadi presiden.
Pada Pemilu 2004, partai yang berideologi Pancasila dan Konservatisme memperoleh 11.989.564 suara (10,57 persen) dan 52 wakilnya duduk di DPR RI.
Perpecahan internal kubu Gus Dur dan Muhaimin Iskandar yang melahirkan dua musyawarah nasional (Munas) pemilihan ketua umum, membuat perolehan kursi PKB merosot. Pada Pemilu 2009, partai tersebut hanya didukung 5.146.122 suara (4,9 persen) atau meraih 27 kursi di Senayan.
Konflik di tubuh PKB ikut memanas dengan ditetapkannya anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Yusuf Emir Faishal sebagai tersangka kasus dugaan suap alih fungsi hutan mangrove di Musi Banyuasin, Sumsel. Meski didera konflik berkepanjangan, PKB yang digawangi Cak Imin itu tetap bertahan.
Selain pernah menempatkan Matori Abdul Jalil sebagai Wakil Ketua MPR (1999-2001) dan Muhamin sebagai Wakil Ketua DPR (1999-2004 dan 2004-2009), PKB tak pernah absen menempatkan wakilnya di jajaran kabinet sejak 1999.
Menghadapi Pemilu 2014, PKB mencoba realistis. Mengusung slogan "PKB, Dari NU Untuk Indonesia" diharapkan mampu menggiring suara warga NU mendukungnya. Ditambah lagi dengan jargon "PKB Penerus Perjuangan Gus Dur ", dukungan terhadap PKB diharapkan bisa meningkat.
Masuknya Presiden Direktur Lion Group Rusdi Kirana awal Januari silam semakin menambah kekuatan PKB. Pengusaha yang mengaku mengagumi sosok Gus Dur itu langsung diplot sebagai Wakil Ketua Umum. Posisi itu diharapkan dapat memperkuat persepsi publik bahwa PKB merupakan partai terbuka.
Ditambah lagi, muncul nama-nama tenar seperti Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan Rhoma Irama sebagai calon presiden. Partai bernomor urut 2 itu lantas menyebut diri sebagai partai yang antioligarki.
Dengan kekuatan baru yang dimilikinya, mampukah PKB bersaing di Pemilu 2014?
Meski awalnya sempat menolak lantaran tak mau terlalu dalam berkecimpung dalam politik praktis, Kyai Cholil mengalah. Ia mengundang para sesepuh ke pesantrennya. Sejumlah persiapan dilakukan, mulai dari pembentukan Tim Panitia yang bertugas membuat draf hingga melobi politisi NU yang berada di Golkar, PDIP, dan PPP untuk bergabung.
Namun, Pengurus Besar Nadlatul Ulama (PBNU) sangat hati-hati menyikapi usulan tersebut. Alasannya, Muktamar NU ke-27 di Situbondo menetapkan, secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik manapun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis.
Aspirasi umat yang sangat besar membuat PBNU turun tangan. Setelah menunjuk Tim Lima dan Tim Asistensi untuk menggodok usulan yang berkembang, pada 23 Juli 1998, bertempat di Ciganjur, lima ulama: Munasir Ali, Ilyas Ruchiyat, Abdurrahman Wahid, A. Mustofa Bisri, dan A. Muhith Muzadi ditunjuk sebagai deklarator berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa.
Tahun 1999 merupakan pengalaman pertama partai warga NU itu bertarung di politik praktis. Hasilnya cukup lumayan, PKB berada di urutan keempat. Pada pemilu yang digelar 7 Juni itu, partai pimpinan Matori Abdul Jalil tersebut meraih 51 kursi (11,03 persen) dari 462 kursi yang diperebutkan.
Pascaditolaknya Pidato Pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie dalam Sidang Istimewa MPR, politisi PKB bergerak melobi faksi Partai Golkar agar mendukung Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Lobi berhasil. Ulama yang disapa Gus Dur itu memenangkan voting pada Sidang Istimewa yang digelar 20 Oktober 1999. Sehari kemudian, Gus Dur dilantik menjadi presiden.
Pada Pemilu 2004, partai yang berideologi Pancasila dan Konservatisme memperoleh 11.989.564 suara (10,57 persen) dan 52 wakilnya duduk di DPR RI.
Perpecahan internal kubu Gus Dur dan Muhaimin Iskandar yang melahirkan dua musyawarah nasional (Munas) pemilihan ketua umum, membuat perolehan kursi PKB merosot. Pada Pemilu 2009, partai tersebut hanya didukung 5.146.122 suara (4,9 persen) atau meraih 27 kursi di Senayan.
Konflik di tubuh PKB ikut memanas dengan ditetapkannya anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Yusuf Emir Faishal sebagai tersangka kasus dugaan suap alih fungsi hutan mangrove di Musi Banyuasin, Sumsel. Meski didera konflik berkepanjangan, PKB yang digawangi Cak Imin itu tetap bertahan.
Selain pernah menempatkan Matori Abdul Jalil sebagai Wakil Ketua MPR (1999-2001) dan Muhamin sebagai Wakil Ketua DPR (1999-2004 dan 2004-2009), PKB tak pernah absen menempatkan wakilnya di jajaran kabinet sejak 1999.
Menghadapi Pemilu 2014, PKB mencoba realistis. Mengusung slogan "PKB, Dari NU Untuk Indonesia" diharapkan mampu menggiring suara warga NU mendukungnya. Ditambah lagi dengan jargon "PKB Penerus Perjuangan Gus Dur ", dukungan terhadap PKB diharapkan bisa meningkat.
Masuknya Presiden Direktur Lion Group Rusdi Kirana awal Januari silam semakin menambah kekuatan PKB. Pengusaha yang mengaku mengagumi sosok Gus Dur itu langsung diplot sebagai Wakil Ketua Umum. Posisi itu diharapkan dapat memperkuat persepsi publik bahwa PKB merupakan partai terbuka.
Ditambah lagi, muncul nama-nama tenar seperti Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan Rhoma Irama sebagai calon presiden. Partai bernomor urut 2 itu lantas menyebut diri sebagai partai yang antioligarki.
Dengan kekuatan baru yang dimilikinya, mampukah PKB bersaing di Pemilu 2014?
6. Nasdem, Pemain Baru di Pentas Nasional
Partai Nasional Demokrat (Nasdem) didirikan pada Selasa, 26 Juli 2011.
Para punggawa partai menyebut deklarasi itu sebagai salah satu upaya
gerakan perubahan menuju cita-cita Republik Indonesia.
Patrice Rio Capella didapuk sebagai Ketua Umum, dengan tugas utama melakukan konsolidasi internal dan mengantarkan hingga Kongres Pertama Partai. Sebelum bergabung dengan Nasdem, Rio adalah Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Periode 2010-2015.
Kehadiran Partai Nasdem sebenarnya telah diprediksi sebelumnya. Setahun sebelum partai didirikan, tepatnya pada 1 Februari 2010, Surya Paloh, Sri Sultan Hamengku Buwono X bersama 45 Tokoh Nasional membentuk Organisasi Masyarakat bernama Nasional Demokrat. Ormas inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Nasdem.
Pembentukan ormas ini diduga karena kekecewaan pendirinya, Surya Paloh, lantaran kalah bertarung memperebutkan posisi Ketua Umum Partai Golkar dari Aburizal Bakrie pada Oktober 2009. Tak lama setelah peristiwa itu, Surya langsung mendirikan Ormas Nasdem.
Beberapa fungsionaris Partai Golkar seperti Syamsul Muarif, Enggartiasto Lukita, Ferry Mursyidan Baldan, Jeffrie Geovanie, Poempida Hidayatullah hingga Walikota Makassar periode 2009-2014, Ilham Arif Sirajuddin, ikut bergabung mendeklarasikan Ormas ini. Termasuk di dalamnya adalah Anies Baswedan, yang saat ini justru ikut Konvensi Calon Presiden dari Partai Demokrat.
Aroma keretakan menyembul ke permukaan sebelum Kongres I digelar dalam tubuh partai yang belum pernah ikut pemilihan umum itu. Harry Tanoesoedibjo yang duduk sebagai Ketua Dewan Pakar bersama Sekretaris Jenderal Ahmad Rofiq terlibat perseteruan dengan Ketua Majelis Tinggi Surya Paloh. Tak mencapai titik temu, Harry Tanoe dan Ahmad Rofiq mundur dari kepengurusan partai. CEO MNC Group itu lalu mendirikan Ormas baru, Perindo.
Meski mendapat kritik keras, hajatan Kongres I tetap digelar. Seperti diduga sebelumnya, Surya Paloh terpilih menjadi Ketua Umum partai besutannya sendiri pada kongres yang dilaksanakan 25-26 Januari 2013. Lelaki kelahiran Banda Aceh, 16 Juli 1951 itu dipercaya memimpin partai selama 5 tahun ke depan bersama Patrice Rio Capella yang terpilih sebagai Sekretaris Jenderal.
Partai bernomor urut 1 ini memiliki jargon “Restorasi Indonesia” yang diturunkan ke empat kata kunci perjuangan: memperbaiki, mengembalikan, memulihkan, dan mencerahkan Republik Indonesia.
Sebagai peserta baru dalam pemilu, Nasdem termasuk yang paling muluk dalam menetapkan target suara dalam pemilu legislatif. Tak tanggung-tanggung, partai yang berkantor pusat di kawasan Gondangdia itu, yakin dapat meraih 20 persen suara di parlemen.
Kehadiran tokoh-tokoh populer seperti Ricky Subagja, Donny Damara, Mel Shandy, Melly Manuhutu, Teten Hamdan, dan Inke Maris, dinilai bisa memenuhi target peroleh suara Nasdem.
Dengan performa gerakan politik, yang didukung dengan iklan tiada henti lewat stasiun televisi Metro TV, akankah Partai Nasdem mampu mewujudkan mimpinya merestorasi Indonesia?
Patrice Rio Capella didapuk sebagai Ketua Umum, dengan tugas utama melakukan konsolidasi internal dan mengantarkan hingga Kongres Pertama Partai. Sebelum bergabung dengan Nasdem, Rio adalah Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Periode 2010-2015.
Kehadiran Partai Nasdem sebenarnya telah diprediksi sebelumnya. Setahun sebelum partai didirikan, tepatnya pada 1 Februari 2010, Surya Paloh, Sri Sultan Hamengku Buwono X bersama 45 Tokoh Nasional membentuk Organisasi Masyarakat bernama Nasional Demokrat. Ormas inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Nasdem.
Pembentukan ormas ini diduga karena kekecewaan pendirinya, Surya Paloh, lantaran kalah bertarung memperebutkan posisi Ketua Umum Partai Golkar dari Aburizal Bakrie pada Oktober 2009. Tak lama setelah peristiwa itu, Surya langsung mendirikan Ormas Nasdem.
Beberapa fungsionaris Partai Golkar seperti Syamsul Muarif, Enggartiasto Lukita, Ferry Mursyidan Baldan, Jeffrie Geovanie, Poempida Hidayatullah hingga Walikota Makassar periode 2009-2014, Ilham Arif Sirajuddin, ikut bergabung mendeklarasikan Ormas ini. Termasuk di dalamnya adalah Anies Baswedan, yang saat ini justru ikut Konvensi Calon Presiden dari Partai Demokrat.
Aroma keretakan menyembul ke permukaan sebelum Kongres I digelar dalam tubuh partai yang belum pernah ikut pemilihan umum itu. Harry Tanoesoedibjo yang duduk sebagai Ketua Dewan Pakar bersama Sekretaris Jenderal Ahmad Rofiq terlibat perseteruan dengan Ketua Majelis Tinggi Surya Paloh. Tak mencapai titik temu, Harry Tanoe dan Ahmad Rofiq mundur dari kepengurusan partai. CEO MNC Group itu lalu mendirikan Ormas baru, Perindo.
Meski mendapat kritik keras, hajatan Kongres I tetap digelar. Seperti diduga sebelumnya, Surya Paloh terpilih menjadi Ketua Umum partai besutannya sendiri pada kongres yang dilaksanakan 25-26 Januari 2013. Lelaki kelahiran Banda Aceh, 16 Juli 1951 itu dipercaya memimpin partai selama 5 tahun ke depan bersama Patrice Rio Capella yang terpilih sebagai Sekretaris Jenderal.
Partai bernomor urut 1 ini memiliki jargon “Restorasi Indonesia” yang diturunkan ke empat kata kunci perjuangan: memperbaiki, mengembalikan, memulihkan, dan mencerahkan Republik Indonesia.
Sebagai peserta baru dalam pemilu, Nasdem termasuk yang paling muluk dalam menetapkan target suara dalam pemilu legislatif. Tak tanggung-tanggung, partai yang berkantor pusat di kawasan Gondangdia itu, yakin dapat meraih 20 persen suara di parlemen.
Kehadiran tokoh-tokoh populer seperti Ricky Subagja, Donny Damara, Mel Shandy, Melly Manuhutu, Teten Hamdan, dan Inke Maris, dinilai bisa memenuhi target peroleh suara Nasdem.
Dengan performa gerakan politik, yang didukung dengan iklan tiada henti lewat stasiun televisi Metro TV, akankah Partai Nasdem mampu mewujudkan mimpinya merestorasi Indonesia?